Profile

Anna Mariana, Pelopor Tenun Betawi

Warta Event – Jakarta. Kecintaan Anna Maria Anna, seorang lawyer yang juga pecinta tenun dan songket selama lebih dari 33 tahun menjadikannya ia seorang perempuan pelopor tenun Betawi. Penobatannya sebagai pelopor tenun Betawi tidak lepas dari ide-ide kreatifnya dalam melahirkan tenun dan songket khas Betawi.

Anna, yang juga Ketua Yayasan Sejarah Kain Tenun Nusantara, menyebut, ada tantangan yang harus dihadapinya. Yakni mengembangkan apa yang sudah direncanakan, membina para penenun. ”Dan yang lebih penting lagi membawa kain tenun khas Betawi lebih berkembang lagi,” ungkap Anna, perempuan kelahiran 1 Januari 1960.

Menurut Anna, pengembangan tenun dan songket Betawi dirasa perlu. Ini bukan hanya membuka peluang kerja bagi para penenun, namun juga membuat catatan sejarah baru bagi jenis kain yang akan diproduksi di Jakarta.

Namun untuk membuka peluang kerja, bagaimana menemukan pengrajin tenun di Jakarta? Anna dengan jeli mencoba melobi sejumlah pesantren di Jakarta maupun Bali. “Kami mendidik mereka yang sudah berusia 17 tahun dan sudah hatam Al-Quran. Ilmu menenun ini bisa jadi bekal mereka untuk mandiri. Jadi mereka tidak hanya paham ilmu agama,” kata Anna yang tengah mengusulkan adanya peringatan Hari Tenun, seperti Hari Batik.

image

Anna juga langsung mensuport bahan baku dan peralatan yang dibutuhkan. Ia juga menampung dan membeli kembali hasil karya anak-anak tersebut. “Dengan begitu, mereka tidak sia-sia belajar sambil berkarya. Mereka dapat ilmu pengetahuan sekaligus dapat penghasilan. Kita sendiri juga akan diuntungkan, karena kita punya regenerasi baru di bidang tenun,” ungkap Ibu 4 orang anak dan isteri dari Tjokorda Ngurah Agung Kusumayudha.

Dalam perjalanan karirnya sebagai designer tenun, Anna melihat adanya kelangkaan dalam regenerasi penenun. Rata-rata penenun binaannya berusia di atas kepala empat, lima bahkan enam. Mungkin bagi anak muda pekerjaan menenun terasa kuno dan kurang bergengsi, terlebih dibanding bekerja sebagai pramusaji di Cafe.

“Saya berupaya membujuk mereka yang masih muda-muda untuk mau berkarya di sini. Dan menjadikan pekerjaan menenun juga memiliki gengsi sekaligus penghasilan yang memadai,” kata Anna yang berupaya menggerakan semua secara mandiri tanpa bantuan pemerintah. “Soalnya kalau nunggu pemerintah pasti ada birokrasinya, nanti malah kelamaan!”

Anna menyebut tenun dan songket yang merupakan kekayaan budaya yang sudah turun menurun, tidak boleh dibiarkan terkubur dan punah. Tenun dan songket itu sangat dihargai di luar negeri, karena dalam budaya mereka tidak ada kain handmade. Semua tekstil cenderung buatan mesin dan pabrik.

“Nah, kalau di depan mata kita ada kekayaan budaya langka yang dipuja-puja orang luar negeri, kenapa kita mengabaikannya? Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau berjuang melestraikannya?,” tanya Anna menurtup perbincangan. [Fatkhurrohim/photo by DSP]