Profile

M. Faried; TdS dan Efek Domino Bagi Pariwisata Indonesia

Warta Event – Jakarta.  Pada tahun 2009, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia menginisiasi event yang memadukan antara pariwisata dan olahraga balap sepeda dengan nama Tour de Singkarak (TdS) di Provinsi Sumatera Barat.

Inilah cikal bakal konsep sport tourism yang kelak akan populer dan menginspirasi beberapa event  sejenisnya di Indonesia. Awal mula TdS akan digulirkan, didasari atas pemikiran bahkan pengamatan yang cukup mendalam. Tour de France yang kini telah berusia 119 tahun menjadi pemantik bara penyelenggaraan Tour de Singkarak.

Hingga tahun 2016 lalu, TdS secara konsisten diselenggarakan setiap tahun. Bahkan telah menjadi agenda tahunan sport tourism kebanggaan negeri ini. Jika menilik kalender event Union Cycliste International (UCI) 2017, TdS tahun ini akan digelar dengan menempuh jarak antara 1.150 KM yang terbagi dalam sembilan etape dan berdurasi sembilan hari.

TdS yang akan diselenggarakan pada tanggal 18-26 Nopember 2017 akan menyambangi 18 Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Barat dengan latar belakang keelokan wisata ranah minang.

Faried, Mantan Direktur Promosi Pariwisata Dalam Negeri, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, menegaskan bahwa event TdS dapat dijadikan salah satu model pengembangan promosi pariwisata di Sumatera Barat. Dampak positifnya pun semakin positif dan membesar bagi pariwisata daerah tersebut.

TdS 2016 (5)

Ketika tahun 2009 Sumatera Barat terjadi bencana gempa bumi dahsyat dan merugikan materi yang besar, ternyata TdS menjadi bagian penting dari instrumen pemulihan ekonomi dan pariwisatanya.

Dan, jika aspek 3A (Atraksi, Aksesibilitas, Amenitas), khususnya akomodasi, dijadikan rujukan untuk menilai “kemantapan destinasi” yang ketika itu hanya dimiliki Padang dan Bukittinggi, kini telah bertambah menjadi Sawahlunto, Batusangkar, dan Kabupaten atau Kota lainnya. Bahkan beberapa daerah tersebut kian berpacu memperkuat aspek 3A-nya.

Balap sepeda sebagai salah satu diantara tiga olahraga terpopuler di dunia dipandang memiliki nilai lebih baik sebagai media promosi destinasi wisata secara terpadu. Pun mampu menghadirkan multiplier effects yang positif serta berkelanjutan baik pada aspek ekonomi maupun sosial budaya.

Betapa penyelenggaraan TdS selama ini telah memberikan pengalaman yang berharga bagi masyarakat Indonesia. Nilai tambahnya pun dari tahun ketahun semakin terlihat dan dirasakan.

Fakta ini dibuktikan dengan berkembangnya minat daerah lain untuk dapat menyelenggarakan event seperti TdS. Sebut saja, Tour de Ijen-Banyuwangi, yang di selenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

TdS 2016 (4)

Kemudian ada Tour de Flores, yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kemudian yang terakhir ada Tour de Center Celebes yang di selenggarakan oleh Pemerintah Sulawesi Tengah.

Ini artinya, olahraga dan pariwisata sejatinya bisa bersanding dan menjadi daya tarik wisata sekaligus sebagai media promosi jika dikemas secara kreatif.

Kini, TdS semakin dikenal dunia, dan meningkatkan minat tim profesional balap sepeda mancanegara untuk berkompetisi. Pada tahap selanjutnya, akan menumbuhkan keinginan warga mancanegara datang ke Indonesia dan singgah ke Sumatera Barat.

Kedepan, upaya sungguh-sungguh harus terus dilakukan dengan menyiapkan konsep dan panduan perencanaan yang profesional, baik menyangkut teknis penyelenggaraan maupun untuk kebutuhan promosi pariwisata secara terpadu, serta upaya peningkatan kualitas di koridor destinasi.

Untuk itu, dukungan berbagai pihak dengan prinsip “Gotong Royong” tentunya amat dibutuhkan. Sehingga TdS kian membuahkan nilai tambah yang lebih besar dan bersifat multi dimensi.

TdS 2016 (1)

Pemerintah Provinsi, dalam hal ini Sumatera Barat berkewajiban untuk memperkuat jalinan tali koordinasi dengan Kabupaten mapun Kota lainnya. Bahkan, sudah saatnya untuk membuka pintu untuk melibatkan Provinsi lain tanpa harus merubah branding Singkarak.

Jika ini terjadi, sungguh menjadi bentuk atau model pendekatan yang luar biasa. Toh sesungguhnya pariwisata itu tidak mengenal sekat atau batas administratif. Jika menilik pada perhelatan Tour de France yang telah menjadi “industri”, Italia pun dapat dijadikan start awal lomba.

Dengan semboyan No gas, No fuel, No traffic, Freedom Machine, Pollution Free, Save the World, dan seterusnya, sudah saatnya menjadikan balap sepeda bersanding dengan pariwisata untuk sumber penghasilan dan memakmurkan masyarakat hingga ke level paling bawah. (*)