Travel

Toba Dream di Bawah Bukit Meat

Warta Event – Tobasa. Kabut tipis dari bukit Meat berangsur memudar seiring hembusan angin darat dan matahari yang mulai meninggi. Para penduduk dengan jumlah 23 Kepala Keluarga di kampung Simanjuntak pun memulai aktivitasnya.

Para kepala keluarga mulai berangkat ke ladang, dan ibu rumah tangganya beraktivitas dengan membuat ulos. Rutinitas mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup mungkin hal biasa bagi kebanyakan orang Batak lainnya.

Akan tetapi, dari jari-jari lembut seorang ibu di kampung Simanjuntak ini ulos hand made masih terjaga kelestariannya. Mereka rela, menghabiskan waktu selama tujuh hari di bawah sopo (rumah adat batak) hanya untuk menghasilkan satu ulos Hela yang dibeli oleh tengkulak pasar seharga Rp200-500 ribu untuk sepasangnya.

Padahal, para tengkulak tersebut menjual sepasang ulos Hela menjadi Rp1 juta. Kesan menguntungkan bagi perajin ulos pun bagai panggang jauh dari api. Keadaan semakin diperburuk dengan adanya teknologi mesin. Sebab mesin mampu memproduksi ulos secara jamak. Harganya pun lebih murah dari perajin.

Asima boru Siahaan, warga kampung Simanjuntak mengatakan, hasil produksi ulos hand made dari kampungnya kian menurun. Harga dan jumlah produksinya kalah bersaing dengan mesin ketika sampai di pasar.

image

“Untuk itu, kami berharap kepada pemerintah untuk memperhatikan pemasaran dari produk yang kami hasilkan dari kampung sini. Sebab, untuk menjadikan sepasang kain ulos Hela ini prosesnya amat panjang. Dari membuat benang, kemudian memintal hingga merajut untuk sampai jadi ulos,” terang Asima, perihatin.

Sementara itu, Nurhayati boru Hasibuan pun mengaku, bahwa harga jual benang hasil pintalannya pun mulai menurun. Pun begitu dengan harga jual benangnya. Untuk satu ikat benangnya dihargai Rp50 ribu oleh perajin ulos. Dalam sehari, Nurhayati ini mampu memproduksi benang sedikitnya lima ikat.

Dengan harga jual yang kurang berpihak ke para perajin ulos, regenerasi perajin pun kian menurun. Anak-anak mereka lebih memilih merantau ke kota-kota besar untuk mencari penghidupan yang lebih baik. “Generasi pemintal benang mulai menurun. Anak-anak saya lebih memilih merantau ke kota besar seperti Jakarta dan Kalimantan,” tambah Nurhayati.

Sebagaimana diketahui, desa adat seperti di Meat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) di pinggir Danau Toba ini sedang dipersiapkan sebagai wisata pedesaan dengan daya tarik kebudayaannya. Sebab disana masih banyak terdapat rumah adat Batak asli dan perajin ulos tradisional.

Di Kabupaten Tobasa, saat ini ada sekitar 4.000 rumah adat dengan arsitektur yang unik, dengan ciri khas berbentuk panggung dengan tiang yang kokoh. Itu sebabnya, mengapa desa adat di Tobasa ini menjadi destinasi menarik bagi wisatawan.

image

Maka tak salah, jika Letjen TNI Purnawirawan TB Silalahi rela menjadi produser eksekutif untuk suatu film berjudul “Toba Dream” yang dirilis tahun lalu dan diputar juga di benua Eropa. Kawasan wisata pedesaan kampung Meat ini pun menjadi salah satu lokasi pengambilan gambar dari film yang diperankan oleh Vino G Bastian dan Marsha Timothy ini.

Melalui film Toba Dream, TB Silalahi ingin memotivasi dan memberi inspirasi kepada generasi muda akan nilai-nilai budaya bangsa dalam pembangunan di era globalisasi seperti saat ini. Sekaligus ingin benar-benar memvisualkan bagaimana kehidupan asli orang Batak yang ada di daerah Danau Toba.

Ditengah realita tersebut, masyarakat di Desa Meat tetap harus bersyukur. Sebab, mereka memiliki budaya dan destinasi alam yang indah bernama Tao Toba. Pemandangan alamnya pun luar biasa, hamparan sawah dan bukitnya pun terlihat begitu menghijau. Usai kembali dari ladang, para kepala keluarga pun masih dapat mencari ikan di danau terluas kedua di dunia.

Artinya, dengan potensi alam yang ada, penduduk sekitar dapat menjadikannya “ekonomi baru” yakni pariwisata untuk masa mendatang. Memang harus banyak dibenahi untuk dijadikan primadona pariwisata di kawasan tersebut.

image

Amenitas dan aksesbilitas paling krusial untuk dibenahi. Belum banyak homestay untuk dijadikan alasan wisatawan untuk bertahan lebih lama disini. Meski infrastruktur sudah terlihat mulai bagus, akan tetapi masih kurang lebar. Sebab hanya bisa dilalui oleh satu kendaraan roda empat seperti mobil elf.

Secantik apapun jika Aksesbilitas, Atraksi dan Amenitas (3A) masih kurang memadai dapat dipastikan akan sepi dari kunjungan wisatawan. Terlebih lagi wisatawan mancanegara. Itu sebabnya, Arief Yahya sebagai Menteri Pariwisata selalu menegaskan rumus 3A menjadi wajib hukumnya jika suatu destinasi ingin dikunjungi wisatawan mancanegara.

Dalam berbagai kesempatan dan kunjungan ke berbagai daerah di Indonesia, Menpar Arief Yahya pun selalu menegaskan dengan lantang CEO Komitmen pun tak kalah pentingnya. Jika CEO-nya berkomitmen, maka pariwisata akan menjadi leading sector perekonomian nasional.

Dan, jika pariwisata dikelola dengan apik dan menanamkan aspek berkelanjutan (sustainable) maka ekosistem pariwisata pun akan terpelihara dan akan mengungguli sektor lainnya bagi kemakmuran masyarakat Indonesia secara menyeluruh hingga ke lapisan masyarakat paling bawah. [Fatkhurrohim]