Jaran Kecak: Menari Dibawah Kaki Gunung Lemongan
Warta Event – Lumajang. BERKAH. Mungkin itu kata yang tepat untuk melengkapi literasi tentang Segitiga Emas Ranu di kaki Gunung Lemongan. Betapa tidak, pasalnya, pagi itu, saat Gunung Lemongan yang masih tertutup kabut tipis dengan rona langit keemasan, di Ranu Klakah kami disuguhkan kesenian langka khas Lumajang, Jaran Kencak.
Abdullah Al – Kudus, Budayawan Jaran Kencak, mengatakan, biasanya jaran kencak muncul saat ada ritual sosial seperti khitanan, dan nikahan. Bias juga ada saat ada event besar seperti Festival Jaran Kencak yang selalu terjadi diantara bulan November dan Desember di alun-alun setiap tahunnya.
Ketika jaran kencak “mentas” di acara khitanan dan nikahan, si empunya hajat dinaikan ke jaran atau kuda kencak lantas diarak keliling desa. “Dulu jaran kencak masuk sejenis ritual. Setiap anak khitanan harus naik jaran kencak. Ritual khitanan terasa kurang lengkap jika belum mengundang jaran kencak. Durasi tanggapan jaran kencak dari jam 2 siang hingga jam 10 malam,” ungkap.
Menariknya lagi, tanggapan jaran kencak ini pun dapat menandakan setatus sosial bagi si empunya hajatan. Sebab, untuk mementaskan jaran kencak yang meriah, minimal dibutuhkan tiga jaran atau kuda. Biaya untuk satu kali mentas jaran kencak dengan satu kuda ini antara Rp750 ribu hingga 1 juta rupiah. Dan minimal harus tiga ekor kuda.
Abdullah, kembali menjelaskan, pihaknya pernah mentas di acara khitanan dengan membawa 50 kuda. Semua keluarga, anak, keponakan hingga cucu diajak naik jaran kencak. “Bahkan kami pernah diundang mentas di Suku Tengger, dengan membawa 100 ekor kuda,” ucapnya, bangga.
Lebih lanjut lagi, Abdullah menceritakan, setiap sanggar jaran kencak memiliki karakteristik masing-masing, dan beda gaya. Kepiawaian “pawang” jaran kencak seperti seni menaklukan kuda dan mengikuti perintah sang pawang pun berbeda-beda. Pun begitu halnya dengan asesoris-asesoris yang melekat pada diri jaran kencak.
“Setiap mentas, jaran kencak kita bermacam-macam gaya, diantaranya bisa disuruh duduk, tidur, juga berdiri. Umur kuda yang digunakan untuk mentas ada yang dua tahun ada juga yang 20 tahun. Kemudian untuk asesoris pakaian jaran kencak ada yang beratnya sampai 15 kg,” terannya.
Ia kembali menambahkan, untuk memilih kuda yang bias diajak mentas pun tidak asal comot. Diperlukan keahlian tersendiri. Pun begitu dengan teknik untuk menundukan kuda. “Kuda yang kita pakai biasanya berjenis kelamin betina. Kemudian untuk memerintahkan kuda agar bias tidur, biasanya kita pegang lehernya, dipecut bagian kakinya dia akan duduk, dll,” pungkas Abdullah.
Hasil Budaya Pendhalungan
Sebuah dokumen TROPEN MUSEUM, 1934, menyebutkan, jaran kencak saat pemerintahan Hindia Belanda digunakan untuk menyambut pejabat Belanda yang berkunjung ke Lumajang di daerah Dampar yang sekarang masuk wiliayah Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang.
Pada masa itu, seni pertunjukan jaran kencak pernah mengalami masa sulit. Sebab ada larangan-larangan melakukan kesenian pada masa kolonialisme Belanda hingga Jepang. Setalh tahun 1949 mulai dikembangkan seni pertunjukan jaran kencak manten oleh seorang warga Desa Kalipepe. Ia menciptakan karya seni budaya pedhalungan berbentuk arak-arakan kuda, dihias dengan kain, lalu kemudian diiringi oleh music kenong telok.
Harus diakui, migrasinya suku Madura ke wilayah Tapal Kuda dengan membawa budaya pendhalungan—perpaduan budaya Madura dan Jawa, membawa jaran kencak sebagai salah satu kesenian yang berkembang dari pendhalungan tersebut di Kabupaten Lumajang selama lima generadi hingga sekarang.
Klabisajeh, seorang pertapa suci yang tinggal di lereng Gunung Lemongan, diyakini sebagai orang pertama kali yang menciptakan kesenian Jaran Kencak. Berkat kesaktiannya, Klabisajeh membuat kuda luat tunduk, jinak dan pandai menari. Itu sebabnya dinamakan Jaran Kencak, yang artinya Kuda Menari. [Fatkhurrohim]