Travel

Ini Makna Busana dan Kereta Presiden Jokowi di Karnaval Kemerdekaan

Warta Event – Bandung. Seluruh pengunjung Karnaval Kemerdekaan Pesona Parahayangan 2017 tak hanya dibuat takjub dengan parade budaya yang digelar di Gedung Sate, Kota Bandung pada hari Sabtu (26/08/2017) kemarin. Tak terkecuali atribut yang dikenakan oleh Presiden Jokowi hari itu.

Kendaraan yang menjadi tunggangan dan busana yang dikenakan Presiden Jokowi pun tak luput dari perhatian publik. Tisna Sanjaya, Budayawan dan Pengajar dari Institut Teknologi Bandung bersama AA Suratin, Joko Kurnain yang mendapat tugas ini berkenan mengisahkan tugasnya ke masyarakat umum.

Kereta Pancasila, menjadi tunggangan Presiden Jokowi pada Karnaval terseut memiliki makna lebih dari sekedar kendaraan. Kereta Pancasila adalah suatu kendaraan yang menyimbolkan kerja keras pemimpin untuk membawa kesejahteraan rakyatnya.

Menurut Tisna, konsep yang diusung adalah mobil bajasan, artinya sederhana, tetapi lahir dari kerja keras. Sebuah truk dihias dengan kepala burung Garuda yang tegak gagah berani. Lalu di bagian belakangnya disusun seeng (dandang), alat memasak tradisional Sunda, yang dipakai untuk membentuk tumpeng raksasa.

“Ada sekitar 99 seeng buatan pengrajin Tasikmalaya yang dipakai untuk membentuk tumpeng. Di dalam seeng itu diisi air yang diambil dari 99 mata air di Jawa Barat. Makna angka 99 ini juga merujuk pada Asmaul Husna (nama-nama Sang Pencipta), hal ini mengingatkan kita pada Sang Pencipta,” ujar Tisna di Bandung.

image

Kemudian untuk busana dan ikat kepala yang dikenakan Presiden Jokowi yang berasal dari Jawa pun memiliki makna khusus. Sangat jelas dan cukup mengilustrasikan seorang Jokowi sebagai Presiden yang penuh wibawa dan kharismatik.

Ikat kepala Makuta merupakan mahkota, benda penutup yang dipakai di kepala. Sementara Sinatria adalah kesatria, suatu karakter, sifat, sikap yang berani, adil, tegas dan jujur. Dalam budaya Sunda, pemakaian ikat kepala menunjukkan pemimpin, sesorang yang sedang menjalankan tugas mulia, seseorang yang sedang mencari peningkatan kebaikan diri.

Dengan memakai rupa ikat sunda ‘makuta sinatria’, menunjukkan bahwa pemakai ikat ini memberikan wejangan bahwa dirinya telah melaksanakan Tilu Eusi Diri yang dalam bahasa Indonesia berarti tiga sikap diri.

Pertama mencerminkan sikap berani dan adil dalam membuat pilihan keputusan demi menegakkan keadilan dan kebenaran sejati. Kedua, adalah panceg yang berketetapan hati atau tegas, yakni selalu menggunakan suara hati nurani dalam mengemban tugas lahiriah maupun bathiniah.

Sikap terakhir adalah Silih Wangi atau saling mewangikanatau saling memberikan kebaikan, melindungi mengayomi dengan sikap welas asih (kasih sayang) untuk pencapaian kebaikan dan kesejahteraan bersama. Menjalankan Kebaikan untuk sesama, keluarga, masyarakat, negara juga pribadi diri sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa. [Fatkhurrohim]