WARTAEVENT.com – Jakarta. Para peserta diskusi Webinar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Chapter Universitas Brawijaya memuji peranan Indonesia dalam mencari solusi terkait perbedaan pandangan diantara anggota G20. Pandangan ini tercermin saat diskusi FPCI dengan nara sumber yang terdiri dari para diplomat senior.
Forum diskusi dibuka secara resmi oleh Nabila Hasna, Wakil Presiden Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Chapter Universitas Brawijaya. Disampaikan bahwa perkembangan peristiwa internasional layak disampaikan dan dibahas dengan kalangan akademisi.
Dengan demikian diharapkan dapat diadakan pencerahan tentang suatu kejadian internasional yang berdampak kepada Indonesia. Nabila menyatakan, bahwa kegiatan webinar ini adalah dalam rangka menyediakan wadah untuk pengembangan keterampilan dalam berdiskusi tentang Foreign Policy.
Baca Juga : G20 Mengadopsi Deklarasi Kebudayaan untuk Kali Pertamanya
Sementara itu pimpinan Acara (Head Project of Diplomatic Dialogue) Anisa Nurhalimah menyatakan bahwa pihaknya menghargai dua diplomat senior yaitu Bagas Hapsoro, Dubes RI untuk Swedia (2016-2020) dan Sutadi (Charge d’Affairs KBRI Sarajevo (2010-2014) yang bersedia untuk membagikan analisa dan kajiannya di depan forum mahasiswa tersebut.
Dalam Webinar yang dipandu moderator tersebut, topik yang mengemuka adalah masalah walkout dalam konperensi dikaitkan dengan sopan santun dalam pergaulan diplomatik.
Sebagaimana diketahui pada tanggal 29 April 2022 Presiden Jokowi secara jelas menyatakan tekadnya untuk mempersatukan G20. Sebelumnya sejumlah negara Barat mendesak keanggotaan Rusia di G20 dicopot menyusul invasi yang dilakukannya ke Ukraina.
Sebelumnya, Pemimpin Amerika Serikat, Kanada, Australia menyatakan sepakat tidak ingin satu meja dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di KTT Bali pada November 2022.
”Walk Out” dan Sopan Santun Diplomatik
”Dalam diplomasi konferensi, ancaman dan peringatan yang dilakukan sekelompok delegasi bisa saja muncul”, kata Bagas mengutip pandangan ahli hubungan internasional Johan Kaufmann yang menyampaikan pendapatnya dalam buku Conference Diplomacy, 1970.
Bagas pun menanggapi pertanyaan Moderator terkait tindakan walk out dari konperensi ditinjau dari sopan santun dalam dunia diplomasi.
”Tidak berpartisipasi dalam sidang dan dengan sengaja keluar ruangan oleh kelompok delegasi ketika Ketua sidang memberikan kesempatan berbicara kepada delegasi negara lain, bisa saja terjadi”, ujar Bagas.
Ditambahkan lebih lanjut bahwa walk out atau keluar ruangan merupakan ekspresi ketidaksenangan. ”Namun Walk out tidak mempengaruhi proses pengambilan keputusan”, tegas Bagas. Disamping itu walk out juga menjauhkan penyelesaian masalah.
Baca Juga : Ini Alasan Menparekraf Sandiaga Uno Rekomendasikan Museum Pasifika Bali sebagai Venue Side Event G20
Dalam Sidang Tingkat Menteri G20 di Washington DC, 20 April 2022 Delegasi AS dan beberapa negara-negara lainnya melakukan aksi walk out saat utusan Rusia menyampaikan pendapatnya.
Delegasi RI, Menkeu Sri Mulyani menyatakan bahwa perbedaan sikap atas perang tidak akan menghalangi kerja sama G20 atau mencegah kolaborasi untuk mengatasi masalah seperti pandemi global dan perpajakan.
Nara sumber berikutnya Sutadi menyampaikan materi tentang tinjauan geopolitik dan geostrategi dari serangan Rusia ke Ukraina. Disebutkan bahwa namun persepsi geopolitik sulit untuk dilepaskan dari invasi Russia ke Ukraina. Aspek geografi mempunyai peran penting dalam pembuatan kebijakan sebuah negara.
”Pada dasarnya, masa Perang Dingin antara Blok Barat (dipimpin AS) dengan Blok Timur (dipimpin Uni Soviet) masih tetap ada walaupun bentuknya berbeda”, ujar Sutadi.
Selanjutnya disampaikan oleh pembicara bahwa perluasan keanggotaan NATO dan EU ke “timur” pada dasarnya adalah upaya memperluas wilayah pengaruh (sphere of influence) wilayah-wilayah yang pernah berada di bawah pengaruh Uni Soviet.
Pandangan yang Beragam dalam Diskusi
Dalam diskusi interaktif, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa walk out adalah hak setiap delegasi dalam menyampaikan sikap politis pemerintahnya. Sikap tersebut merupakan semacam ”tekanan” kepada pihak pendukung konperensi.
Pandangan lainnya menyatakan bahwa tindakan walkout adalah suatu sikap yang tidak terpuji. Hal ini mengingat masalah yang dibahas sudah direncanakan dalam agenda yang sebelumnya disepakati.
Kasus konflik Rusia-Ukraina tidak terkait dengan mandat G20. Dengan demikian tindakan walk out bukan saja kurang tepat tetapi juga salah tempat.
Pandangan berikutnya adalah faktor kepemimpinan G20 yang menjadi patokan. Pertimbangan ini muncul karena pimpinan, dalam hal ini Indonesia, bukan memihak salah satu dari yang bertikai. Bahkan hubungan baik antara Indonesia dengan Rusia maupun antara Indonesia dengan Ukraina.
Ini merupakan salah satu modal Indonesia untuk mempertemukan kedua pihak yang bertikai. Terlebih lagi, jika konflik dibiarkan berlarut-larut maka kondisi geo-politik dan geo-ekonomi secara global bisa terdampak cukup serius, termasuk dampaknya bagi Indonesia.
Sikap Indonesia Mendapat Perhatian dari Para Mahasiswa Unibraw
Sebagaimana diketahui Presiden RI Jokowi mengundang Presiden Ukraina ke Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20 di Bali, November 2022. Menurut Bagas, perang yang masih berlangsung di Eropa tersebut merupakan salah satu alasan kuat presidensi G20 mempertimbangkan untuk menghadirkan Presiden Ukraina, Zelensky
Menurut Presiden Jokowi G20 memiliki peran sebagai katalisator dalam pemulihan ekonomi dunia. Juga disampaikan oleh Presiden RI bahwa bila berbicara ekonomi dunia, ada dua hal yang mempengaruhi ekonomi dunia saat ini, yang pertama pandemi Covid-19 dan kedua perang di Ukraina.
Dalam keterangan Sekretariat Presiden pada tanggal 29 April 2022, setelah berbincang dengan pemimpin Ukraina, Presiden Jokowi juga berkomunikasi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Tentunya, salah satu topik yang dibahas kedua pemimpin itu adalah forum G20.
Baca Juga : Wishnutama Ajak Menpar Anggota G20 Siapkan Standar Baru Kepariwisataan
Menurut Bagas, pernyataan Presiden Joko Widodo tentang undangan kepada kedua pemimpin yang negaranya bertikai itu menunjukkan ketegasan Indonesia tentang masalah ini.
”Presiden menyatakan bahwa Indonesia ingin menyatukan G20. Jangan sampai ada perpecahan. Sebagai pemegang mandat Presidensi G20, Presiden Jokowi telah berkomunikasi dengan sejumlah pemimpin negara dan Sekjen PBB”, kata Bagas.
Sutadi menyampaikan hal serupa tentang posisi penting Ketua G20 ini. Peranan Indonesia ini esensial. Hal ni mengingat sisi geopolitik persaingan negara-negara Barat dengan Rusia masih ada dan masih akan berlangsung dalam beberapa waktu ke depan. Selama ini kita melihat Rusia sebagai pewaris negara adikuasa Uni Sovyet. Mereka nampaknya menginginkan status itu tetap ada,” kata Sutadi.
Selanjutnya disampaikan bahwa keinginan Indonesia untuk mempersatukan G20 harus ditanggapi secara baik tidak saja oleh Rusia dan Ukraina, tetapi oleh NATO juga. “Ini sekaligus saatnya menunjukkan secara nyata prinsip politik bebas aktif kita, apalagi dalam pembukaan UUD 1945 kita berkomitmen menjaga perdamaian dan ketertiban dunia,” tambahnya.
Dalam diskusi tersebut terlihat para mahasiswa menilai bahwa Indonesia konsisten dengan politik luar negerinya. Indonesia mendukung resolusi Majelis Umum PBB yakni menyesalkan invasi Rusia ke Ukraina. Dinyatakan pula oleh mahasiswa bahwa resolusi PBB sesuai dengan amanat Konstitusi dan prinsip bebas-aktif.
Jadi kepentingan Indonesia terakomodasi di resolusi. Dukungan Indonesia kepada resolusi tersebut ditentukan oleh kepentingan nasional bukan mengekor kepada Barat. Para mahasiswa juga menilai bahwa Indonesia dalam posisinya sebagai Ketua G20 berpeluang menjadi juru runding penyelesaian konflik Rusia-Ukraina.
Diakhir pertemuan diberikan hadiah bagi para penjawab quiz untuk mahasiswa. Antara lain berupa buku berjudul ”Kiprah Diplomat Indonesia di Mancanegara”, karya diplomat Indonesia yang diberikan kata pengantar oleh Menlu Retno L.P. Marsudi. [*]
- Editor : Fatkhurrohim