Ekonomi

Sagu Lempeng: Kuliner, Tradisi dan Pundi Rezeki

Nini tak sendiri. Puluhan keluarga lain menjalani aktivitas serupa. Para pria mengangkut Kasbi—sebutan lokal untuk singkong—dari kebun atau petani, sementara para perempuan menyiapkan forno dan bahan baku. Di sinilah ekonomi kerakyatan hidup dan bertumbuh, berpijak pada prinsip gotong royong dan kemandirian.

Suhaemi menambahkan, proses produksi Sagu Lempeng tak bisa instan. Setelah Kasbi dikupas dan diparut, bahan tersebut harus dikeringkan menggunakan alat dongkrak tradisional. Kemudian digiling, diayak, hingga menjadi tepung halus siap cetak.

Baca Juga : Explore Jailolo: Baru Pulang dari Gunung Gamkonora

“Untuk memanaskan forno butuh waktu tiga jam awal. Setelah itu cukup sepuluh menit saja untuk membuat cetakan berikutnya,” jelasnya.

Satu forno menghasilkan delapan lempeng. Dalam satu hari, Nini mengoperasikan 10 forno dengan sistem rotasi—enam forno dipanaskan, empat mencetak. Hasilnya? Dalam sehari, Nini bisa mencetak lebih dari 200 lempeng.

Sagu Lempeng hadir dalam dua varian rasa; Sagu Lempeng Original (Tawar), dengan bahan baku utamanya Kasbi, Rasanya tawar dengan sentuhan gurih ringan. Cocok disandingkan dengan ikan tumis, ikan goreng, hingga ikan bakar

Baca Juga : Sigofi Ngolo: Ritual Sakral dari Teluk Jailolo yang Menyatukan Manusia dan Alam

Varian selanjutnya adalah Sagu Lempeng Manis Bahan utamanya adalah kelapa, gula merah atau putih. Rasanya manis dengan aroma kelapa, Cocok sebagai kudapan atau oleh-oleh wisata.

“Pemilihan jenis gula memengaruhi warna dan tekstur hasil akhir. Gula merah menghasilkan warna lebih gelap dan aroma yang khas, sedangkan gula pasir menjadikan lempeng lebih cerah, terangg Suhaemi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *