Tekad IPC Menjadi Trade Facilitator Terbaik Kelas Dunia
wartaevent.com. Jakarta. PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) atau yang kini lebih dikenal dengan nama IPC (Indonesia Port Corporation)bertekad untuk menjadi trade facilitator dalam 5 tahun mendatang.
Perlahan tapi pasti, mimpi yang dapat mengubah citra dunia pelabuhan itu, mulai diimplementasikan melalui transformasi di bidang teknologi dan juga pengembangan sumber daya manusia di 12 pelabuhan yang saat ini ada dibawah naungannya.
Perubahan menjadi hal yang multak diperlukan untuk menyelaraskan bisnis dengan kebutuhan masyarakat dan dunia.
Evelyn G Masassya, Direktur Utama IPC mengatakan, sebagai salah satu langkah transfornasi, pada tahun 2020 mendatang IPC ditargetkan dapat menyelesaikan fase pertamanya, yakni menjadi pelabuhan kelas dunia.
“Pelabuhan itu sekarang tidak cukup lagi berperan hanya sebagai pelabuhan. Dulu itu ada istilah bahwa pelabuhan tempatnya arus keluar dan masuk barang, istilah teknisnya port to port. Dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. Sekarang sudah harus lebih dari itu,” jelasnya.
Dalam tahapannya, IPC sebagai perseroan melakukan upaya untuk menggeser konsep port to portmenjadi door to door. Artinya dari perusahaan sudah hadir sejak barang itu keluar pabrik sampai pada importir di luar negeri, atau dari pabrik di luar negeri langsung pada customer di dalam negeri.
Dengan begitu, fungsi port operator yang selama ini disematkan kedalam perusahaan pelabuhan bisa berubah menjadi trade facilitator. Dalam hal ini IPC menjadikan digital port atau pelabuhan digital sebagai basis dari fasilitas perdagangannya.
Pelabuhan sendiri sejatinya sebagai supporting aktivitas logisticdengan melayani tiga aktivitas utama. Pertama, berada di sisi laut yang disebut marine services, disini proses yang dilakukan adalah menandu dan menarik kapal ke dermaga.
Kedua yang dinamakan terminal handling. Disitu barang yang ada di kapal diturunkan atau harus dibawa naik ke kapal. Ketiga, menurunkan keterminal, setelah itu barang-barang tersebut diteruskan ke gudang atau langsung ke pabrik.
Evelyn menjelaskan, cara-cara konvensional tersebut berimbas pada tingginya biaya logistik, karena mulai dari kapal datang hingga akhirnya masuk ke gudang terdapat waktu tunggu yang cukup lama.
“Karena itu kita harus perbaiki agar biaya tidak tinggi, melalui pendekatan digital. Nah kita siapkan satu sistem namanya marine operation system (MOS) dan Traffight System (TAS),” jelasnya.
Melalui sistem tersebut perusahaan sudah mengetahui kapal apa yang akan datang, posisi kapal, jumlah dan jenis muatan juga tujuan terminalnya. Dengan diaplikasikannya sistem tersebut, maka waktu tunggu kapal bisa diestimasi.
Sementara di sisi terminal, dengan digitalisasi, pelabuhan sudah mengetahui berapa kebutuhan untuk bisa melakukan bongkar muat, karena kapal yang akan merapat sudah membuat perencanaan terlebih dahulu.
Mulai dari jumlah crane yang dibutuhkan dan juga kebutuhan waktu yang akan dihabiskan selama proses bongkar muat, sudah terekam semua oleh sistem yang ada di pelabuhan.
Jika memang hal tersebut bisa terlaksan, tentunya wajah pelabuhan Indonesia akan bertambah cantik. Bangsa ini yang sedari dulu dikenal sebagai bangsa maritim juga bisa semakin menepuk dada atas kemajuan yang ada di sektor pelabuhan, gerbang dunia maritim. [Fachrudin Ab]