Ekonomi

Strategi “Shifting to The Front” Untuk Mencapai Target Kunjungan Wisman

wartaevent.com – Lombok. Kementerian Pariwisata (Kemenpar) menerapkan strategi “shifting to the front” atau “geser ke depan” dari sisi anggaran dan program untuk mencapai target kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) 10 juta pada semester pertama di tahun 2019.

Nia Niscaya, Deputi Pengembangan Pemasaran II Kementerian Pariwisata (Kemenpar), di Lombok, (22/02/2019) lalu, mengatakan, pihaknya menerapkan strategi untuk “habis-habisan” lewat program Shifting to The Front atau “Geser ke Depan” yang diupayakan mampu mendorong seluruh pelaku usaha pariwisata Indonesia untuk menawarkan paket wisata yang menarik bagi wisatawan mancanegara (wisman).

Beberapa strategi tersebut diterapkan dalam program “super-extra ordinary” akan dijadikan sebagai senjata pamungkas yang mencakup tiga program yakni border tourism, tourism hub, dan low cost terminal (LCT). Program ini sebagai strategi campuran dari tiga program yakni ordinary, extra-ordinary, dan super-extra ordinary.

Baca Juga : Kemenpar Terapkan “Grand Marketing Strategy”

“Hal ini sebagai program istimewa yang sengaja disimpan untuk menjadi senjata pamungkas dalam mewujudkan target akhir 10 juta di semester pertama dan 20 juta wisman tahun 2019,” katanya.

Program super-extra ordinary mencakup tiga program yaitu Border Tourism, Tourism Hub, dan Low Cost Terminal. Border tourism dianggap penting karena merupakan cara efektif untuk mendatangkan wisman dari negara-negara tetangga.

Nia menjelaskan beberapa alasan di antaranya pertama, karena wisman dari negara tetangga memiliki kedekatan (proximity) secara geografis sehingga wisman lebih mudah, cepat, dan murah menjangkau destinasi kita.

Baca Juga : Tahun 2019, Kemenpar Mentargetkan 1,5 Juta Wisman Australia

Kedua, mereka juga memiliki kedekatan kultural/emosional dengan kita sehingga lebih mudah didatangkan. “Ketiga, potensi pasar Border Tourism ini masih sangat besar baik dari Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Papua Nugini, maupun Timor Leste,” katanya.

Untuk program tourism hub sebagai strategi “menjaring di kolam tetangga yang sudah banyak ikannya”. Maksudnya, wisman yang sudah berada di hub regional seperti Singapura dan Kuala Lumpur ditarik untuk melanjutkan perjalanan berlibur ke Indonesia.

“Salah satu persoalan pelik pariwisata kita adalah minimnya ‘direct flight’ dari originasi. ‘Direct flight’ kita misalnya dari originasi China mencapai 50%, artinya 50% sisanya masih transit dari Singapura, Kuala Lumpur, atau Hong Kong,” katanya.

Sementara itu untuk program low cost terminal diterapkan tahun depan. “Selama ini kita salah memilih instrumen untuk konektivitas udara, dimana kita harus tumbuh tinggi tetapi lebih banyak menggunakan instrumen yang tumbuhnya rendah. Wisman yang datang ke Indonesia pada 2017 tercatat lebih dari 55% menggunakan Full Service Carrier (FSC) dan sisanya menggunakan Low Cost Carrier (LCC),” katanya.

Baca Juga : Menpar Arief Yahya: “Ada Potensi 11 Juta Wisman”

Namun, ternyata pertumbuhan FSC rata-rata hanya 12% jauh di bawah LCC yang tumbuh rata-rata 21% per tahun. “Maka, LCC adalah senjata ampuh untuk mendorong pertumbuhan jumlah wisman, dimana maskapai berbiaya rendah ini menyumbang kontribusi peningkatan kunjungan wisman sebanyak 20%. Nah, untuk mendorong pertumbuhan LCC, Indonesia harus mempunyai Low Cost Terminal (LCT),” katanya.

LCT kata Nia, merupakan salah satu penentu utama keberhasilan target kunjungan 20 juta wisman pada 2019. Kemenpar sendiri menargetkan 10 juta wisman di semester pertama 2019 dari berbagai negara. Wisman asal China ditargetkan menjadi penyumbang turis terbanyak ke Tanah Air.

“Dari China 3,570 juta disusul secara berurutan wisman asal Eropa 2,580 juta, India 820 ribu, Jepang 720 ribu, Amerika Serikat 560 ribu, Timur Tengah dan Arab Saudi 320 ribu, Taiwan dan Hongkong masing-masing menyumbang 310 ribu dan 130 ribu wisatawan,” kata Nia. [*]