Kaleidoskop Sport Tourism: Pentingnya GSB Bagi Pariwisata Sumatera Barat & TdS (3)
Warta Event. Berkat adanya TdS yang kini berjarak ± 1.200 km tentunya akan mengikat keutuhan produk pariwisata (3A = Aksesibilitas – Atraksi wisata – Amenitas) Sumatera Barat yang lebih efektif dan efisien. Tahun 2017 telah hadir Hotel berbintang 4 di Batusangkar-Kabupaten Tanah Datar. Dan, telah dijadikan sebagai tempat utama bagi akomodasi pembalap pada penyelenggaraan TdS 2017 yang sebelumnya selalu mengandalkan Padang dan Bukittinggi.
Dalam penetapan jalur TdS yang melibatkan Union Cyclist Internationale (UCI) lebih didasarkan pada pertimbangan pariwisata. Artinya dipilih jalan yang memiliki latar belakang atraksi wisata dengan panorama yang luarbiasa (koridor wisata).
Koridor wisata ini sudah selayaknya perlu dan harus memperoleh perhatian agar menarik, atraktif, nyaman serta berwibawa tentunya. Dan, salahsatu upayanya dengan menerapkan Penegakan Peraturan Tata Ruang, yakni Garis Sepadan Bangunan (GSB)
Fakta memperlihatkan bahwa banyak koridor wisata yang mengarah ke tujuan obyek wisata yang khas dan luarbiasa di Sumatera Barat, cenderung semakin semerawut dan kumuh (tak teratur dan jorok) akibat penegakan GSB lemah dan tidak semestinya. Juga kebijakan penataan usaha kecil yang tak terkendali dan nyaris seenak dan semau-maunya.
Tentu keadaan semacam ini menyebabkan terjadinya penurunan kualitas daya tarik wisata yang pada gilirannya akan mengganggu keberlanjutan pariwisata dan berkontribusi pada “selamat tinggal pariwisata”.
Betapa event TdS bisa dijadikan rujukan guna terwujudnya tertib tatakelola destinasi pariwisata. Untuk itu, TdS dapat disikapi melalui payung peraturan daerah sehingga terikat dalam perencanaan yang legal dan terpadu, termasuk mewujudkan co-marketing.
Dalam konteks Sumatera sebagai destinasi, setidaknya Sumatera Barat bersaing dengan 4 provinsi yang sama memiliki bandara berstatus internasional yakni Aceh, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan.
Bandara Internasional Minangkabau (dahulu Tabing) yang sudah ditetapkan sejak tiga dekade silam, hingga kini BIM hanya dihubungkan dengan satu kota mancanegara yaitu Kualalumpur (kelas LCC). BPS mencatat wisman ke Indonesia masuk melalui bandara BIM sebanyak antara 50 ribu orang per tahun atau rata-rata 4.200 wisman per bulan.
Sepertinya kapasitas sarana dan prasarana pariwisata yang tersedia di Sumatera Barat masih sangat terbuka untuk dioptimasikan. Memang, kerja keras saja belum cukup, perlu siap paham dan siap mampu, dan syukur jika ditambah kadar integritas yang lebih tinggi dari Aparaturnya. (Habis)
*M. Faried
Pernah Menjabat Direktur Promosi Pariwisata Dalam Negeri, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif