Travel

Karapan Kambing, Tradisi, Ekonomi dan Identitas Budaya

Warta Event – Sumenep. Pulau Madura, khususnya di Kabupaten Sumenep, ada atraksi wisata selain Karapan Sapi, yaitu Karapan Kambing. Tak ubahnya Karapan Sapi, Karapan Kambing ini pun memacu kecepatan dijalur atau raceyang sama. Jenis tingkat lombanya pun sama, mulai tingkat kawedanan hingga piala presiden.

Kambing balap ini pun mempunyai paddock layaknya balapan mobil. Paddock ini difungsikan untuk mengecek kesehatan dan kesiapan kambing sebelum menunggu giliran beradu cepat di lintasan.

Di paddock, sang pemilik kambing pun memberikan treatment khusus sebelum berlaga, seperti memberikan pijetan, ramuan hingga memandikannya. Treatmen ini memang berbeda dengan kambing yang ada pada umumnya.

Arief Hidayat, salah satu peserta lomba Karapan Kambing berasal dari Kecamatan Bluto, mengatakan, kambing untuk karapan ini hampir mayoritas berjenis kelamin perempuan dan belum pernah memiliki keturunan. Usianya pun masih muda, tidak kurang dari 1.5 tahun.

Kambing karapan ini pun secara fisik pasti terlihat berbeda dengan kambing pada umumnya. Hal ini terjadi karena treatmen yang diberikan memang berbeda. Kambing karapan asupan gizinya jauh lebih bagus. Pun begitu dengan cara memandikannya.

“Kambing karapan ini harus dikasih jamu minimal dua kali sehari, yaitu pagi dan malam. Setiap minum jamu, dalam sekali teguk dapat menghabiskan antara 15-20 butir telur. Kemudian kandang kambing karapan pun harus jauh lebih bersih dan terpisah dengan kambing bukan karapan,” ungkap Arief.

Lebih jauh lagi Arief menjelaskan, untuk menjadikan kambing karapan memang tidak semua pemilik kambing treatmen yang sama. Pasti berbeda-beda. Baik mulai dari jenis ramuan jamu, takaran, waktu atau periode memberikan jamu, dan lain sebagainya.

Ini mafhum adanya, sebab kambing karapan memang nilai jualnya tinggi daripada kambing biasa. Itu sebabnya, para pemilik kambing karapan memberikan treatmen khusus. “Harga kambing biasa yang usianya sekitar satu tahun Rp1 juta. Tapi kalau kambing karapan dapat mencapai Rp30 juta,” urai Arief.

Harga tersebut, kata Arief, masih relative setandar. Harga kambing karapan yang pernah memenangi suatu lomba dengan level tertentu bisa jauh lebih mahal. “Harga kambing karapan yang memenangi lomba bias mencapai Rp150 juta,” lanjut Arief.

Potensi Penghasilan Baru

Alhasil, karapan kambing yang sudah mulai menjadi tradisi di Pulau Madura ini pun selain menjadi atraksi dan atau daya tarik wisata dapat menjadi penghasilan bagi siempunya kambing karapan. Bahkan, di Kabupaten Sumenep beralih menjadi profesi pencari kambing karapan untuk kemudian diperjual belikan.

Seperti dikutip dari laman media lokal, Miftahol Arifin, pria yang akrab disapa Encung ini mengaku pernah menjual kambing karapan seharga Rp20 juta. Ternyata, kambing karapan tersebut belum lama memenangi karapan kambing di pulau Sapudi. Dan perlu diketahui, Pulau Sapudi adalah daerah pemasok hewan karapan di Pulau Madura, baik itu Sapi maupun kambing.

Berhasil menikmati profesi barunya tersebut, kini Encung pun mengasah kemampuannya dengan mencari kambing karapan yang menurutnya bakal memenangkan lomba dan akan memiliki nilai jual tinggi setelah ia beli dari para peserta lomba.

Jika Encung mencium kambing karapan suatu saat bias menjadi pemenang, maka ia pun tidak segan-segan untuk membeli kambing tersebut. Itu sebabnya, ketika orang melirik ke kambing yang memenangi lomba, justru Encung memilih yang kalah. Tapi Ia memiliki keyakinan kelak kambing tersebut bakal menang di lomba.

Insting yang dimiliki Encung bukan kali pertamanya. Justru Ia menuai hasil besar dari membeli kambing karapan yang kerap kalah, kemudian setelah dijual harganya melambung tinggi. Bahkan tidak jarang kambing kerapannya memenangkan perlombaan.

Menurut keterangan Arief, karapan kambing di sumenep ada sekitar tahun 2004 lalu. Dan karapan kambing ini untuk menjadi tontonan atau atraksi alternatif lain manakala karapan sapi tidak diselenggarakan.

Dalam kajian tradisi, karapan kambing mulanya dijadikan sebagai tradisi perayaan masa panen di Desa Pagar Batu, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep. Masa panen adalah masa produktif. Kondisi alam Madura yang yang kering, tandus, kerontang, masa panen dijadikan sebagai masa kejayaan.

Kendati kondisi alam yang tidak menguntungkan tersebut masyarakat Madura dikenal ulet, pantang menyerah, mandiri, dan suka tantangan (Karim, 2004: 41). Ini menjadi modal penggairah hidup dan etos kerja masyarakat Madura. Karena itu, masa panen sama dengan putaran waktu ketika meraih kemenangan dalam perang.

Tradisi dan Identitas Budaya

Berangkat dari fenomena tersebut, maka penulis akan mengembangkan telaah sosiologis-feminis menyangkut sejumlah kebiasaan (habit) dalam karapan kambing sebagai wacana kultural alternatif identitas Madura. Mulai dari pemilihan kambing karapan cara pemeliharaan beserta aksesori kambing kerapan, hingga ‘perilaku’ kambing kerapan di arena balapan.

Kambing karapan selalu memilih jenis kambing betina, dengan usia minimal empat bulan. Tidak dipilihnya kambing berjenis kelamin jantan disebabkan kecenderungan kambing jantan yang tidak bisa fokus pada balapan.

Hal ini sesuai dengan karakter perempuan Madura yang penurut, pekerja keras, dan tekun, merupakan potret komitmen perempuan Madura untuk mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari pihak dominan, laki-laki.

Janet Chafetz, seorang pengkaji feminis, menyatakan bahwa kaum perempuan selalu kalah dalam kompetisi dengan kaum laki-laki karena sosialisasi jenis kelamin yang berbeda berfungsi mereproduksi ketidaksamarataan, bahwa kaum perempuan hanya dipersenjatai dengan karakteristik personal untuk memenuhi tanggung jawab melahirkan dan membesarkan anak (Ollenburger, 1996: 100-101).

Komitmen perempuan Madura untuk bekerja keras, kemudian menuai hasil (ngarkar pas acolbi’) dalam kondisi alam yang keras, tidak menjanjikan, dan kurang menguntungkan menjadi karakter kunci untuk memasuki dunia dominasi laki-laki (male-dominated world).

Di samping itu, sikap penurut perempuan Madura menjadikannya tidak mudah berpaling ‘prinsip’. Mereka akan mematuhi segala seruan yang ditujukan padanya, sebagai bentuk pengabdian. Bentuk kultur masyarakat Madura lebih dikenal meyakini fanatisme pada norma agama.

Ketika seseorang atau pemuka atau tokoh tertentu, yang disegani, menyerukan sesuatu, maka bisa dipastikan ia akan memperoleh dukungan penuh (Karim, 2004:120). Ketika seorang suami ingin menikah lagi, si istri akan mengizinkannya. Laki-laki Madura bisa beristri dua, sebaliknya perempuan Madura menerima dijadikan istri kedua.

Pada tingkatan tertentu, kepatuhan perempuan Madura bukanlah semata-mata kepatuhan yang statis. Kendati sering kali diposisikan dalam kategori subordinat, perempuan Madura masih memiliki peran dan status dalam keluarga secara sinergis, sehingga masing-masing anggota dalam miniatur organisasi tersebut bias bergerak dan berfungsi.

Karapan kambing telah mencetak sejarah ketradisiannya sejak lama. Karapan kambing pada mulanya merupakan pertanda luapan kegembiraan dari masyarakat pedesaaan khususnya ketika merayakan masa panen. [Fatkhurrohim/berbagai sumber]