Lifestyle

“Banda The Dark Forgotten Trail” Tampilkan Kemegahan Visual Walau Kurang Eksplorasi

Genre: Film Dokumenter Sejarah; Produksi: Lifelike; Produser: Sheila Timothy, Abduh Aziz; Sutradara; Jay Subyakto; Penulis Naskah; lrfan Ramli; Narator: Reza Rahadian (Bahasa Indonesia), Ario Bayu (Bahasa Inggris); Sinematografi: Ipung (Syaiful Rachmat), Davy Linggar, Oscar Matuloh; Musik: Lie Indra Perkasa; Penyunting: Aline Jusria. Durasi 94 menit.

PicsArt_09-14-08.32.35

Warta Event – Menonton film “Banda The Dark Forgotten Trail” (BTDFT) seperti membingkai kembali serpihan-serpihan sejarah yang terserak. Film perdana garapan sutradara Jay Subyakto sempat menyentak para sineas filmaker Indonesia. Bahkan, sempat menjadi kontroversi di masyarakat Banda lantaran beberapa isi ceritanya tidak sesuai dengan fakta sejarah. Namun secara visual,  sudah selayaknya kita berikan pujian untuk sang sutradara Jay Subyakto, yang piawai mengemas genre film dokumenter ini menjadi lebih segar, enak ditonton dan tidak monoton. Film yang mengupas kejayaan rempah Kepulauan Banda ini menjadi energi baru bagi perkembangan film dokumenter di tanah air.

“BTDFT” bercerita abad pertengahan Kepulauan Banda yang menjadi incaran bangsa Eropa. Karena pulau ini memiliki tumbuhan pala yang melimpah serta berkualitas tinggi. Segenggam pala di Pasar Eropa dianggap iebih berharga ketimbang emas.

Monopoli bangsa Arab dan perseteruan dalam perang salib membawa Eropa ke dalam perburuan menemukan pulau-pulau baru penghasil rempah. Ditemukannya Kepulauan Banda oleh Portugis ditahun 1512 menjadi satu-satunya tempat tanaman pala tumbuh hingga menjadi kawasan yang paling diperebutkan. Belanda bahkan rela melepas Nieuw Amsterdam (Manhattan, New York) agar bisa mengusir lnggris dari kepulauan tersebut.

PicsArt_09-14-04.30.43

Diceritakan pula sejarah Banda yang penuh dengan darah dan tragedi kemanusian. Pembantaian massal dan perbudakan pertama di Nusantara terjadi disini. Apalagi ketika VOC melakukan aksi paling brutal sepanjang sejarah kemanusiaan. Lebih dari belasan ribu orang tewas korban kebiadaban VOC di tahun 1621.

Kepalaun Banda juga turut menjadi saksi lahirnya negeri ini. Tokoh para Founders bangsa seperti Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, Dr. Tjipto Mangunkusumo, dan lwa Kusuma Sumantri yang sempat diasingkan ke Banda Neira. Di kepulaun inilah muncul gagasan gagasan besar hingga Republik Indonesia lahir.

Bagi sutradara Jay Subyakto, mengangkat kembali kejayaan Kepulauan Banda adalah gagasan visual yang cerdas. Secara politis Jay telah menyampaikan pesan simbolik kepada pemerintahan Jokowi-JK, yaitu segera mewujudkan wilayah timur sebagai pilar ekonomi kebangsaan.

Dari gagasan visual yang cerdas dan apik itu, patut disayangkan, rasanya film ini terkesan kurang eksplorasi. Beberapa penuturan informasi data yang disampaikan narator, berhenti pada pernyataan tanpa detil penjelasan. Nah, dari sinilah muncul sejumlah keraguan akan keotentikan maupun kesejarahan faktual di film ini.

Misalnya, mengapa pada perjanjian tahun 1667 antara Inggris dan Belanda, pihak Belanda sampai berani melakukan pertukaran wilayah Nieuw Amsterdam (Manhattan, New York)? Juga bagaimana proses buah pala yang mengandung aprodiak itu, diubah menjadi kosmetik?

Kemudian dari sisi cinemathograpy film ini bergenre dokumenter, barang tentu memiliki citra yang khas, sesuai dengan kekhususan film dokumenter itu sendiri. Yaitu, menvisualisasikan kejadian yang segamblang gamblangnya, tanpa ada menyisipkan unsur fiksi maupun rekayasa. Kenyataan itu tampil sebagai kenyataan yang murni. Bertutur dengan bahasa visual secara apa adanya, bukan sekadar mempertontonkan visual nan epic serta keindahan semata. Itulah syarat mutlak dari sebuah film dokumenter.

Terkait dengan hal itu, apakah film “BTDFT” taat asas, bertutur dengan bahasa visual secara gamblang? Bisa ya dan tidak jawabannya. Sebab rentetan visual yang tersaji di sepanjang film. terkesan tidak ada rekayasa dalam penyutradaraan.Tetapi bila sedikit saja lebih teliti dalam menyimak, dapat diduga ketika syuting ada proses pengadegan oleh sutradara. Contoh kecil, visual pada adegan kaki menginjak huruf VOC.

Bukan mencari-cari kesalahan atas proses terjadinya adegan tersebut. Dalam pemikiran positif, justru adegan yang sesingkat itu memiliki kedalaman makna. Sebagai simbolisme kemarahan yang memuncak.

Agar film mampu “berbicara” lebih dalam, selain narasi berbagai potongan visual scene yang digunakan Jay guna merangkai penuturan kisah sepanjang film. Mulai dengan gumpalan awan berarak, siluet gunung, pesisir pantai, kebun dan buah pala, pucuk meriam, hingga benteng-benteng Belanda yang ada di Banda. Banyak yang bermakna simbolis di sana.

Sayang, tidak semua visual yang ada, dapat segera ditangkap maknanya. Perlu perenungan sesaat. Terlebih pada scene gambar rombongan generasi muda pembawa obor yang beberapa kali dimunculkan. Seolah mereka muncul hanya sebagai pemanis saja, tanpa ada konteks kesejahrahan sama sekali.

Pujian khusus dialamatkan kepada Aline Jusria sebagai penyunting, yang karyanya cut to cut membuat tempo film menjadi dinamis. Juga kepada Lie Indra Perkasa sebagai musik composer, yang menghasilkan musik megah dan menghentak, tetapi serasi dan harmonis dengan irama film.

Jay Subyakto yang selama ini lebih dikenal sebagai sutradara video klip dan penata artistik di berbagai event musik. Tak mengherankan jika kemudian dalam garapan film perdananya, “BTDFT”, Jay menyajikan visual yang indah serta latar musik yang tersemat hampir sepanjang film. Entah karena hal itu, begitu menonton film “BTDFT” seolah kita diajak menjelajahi video klip berdurasi 94 menit.