Travel

Mitos Si Kikir Hingga Menjadi Pulau Senua yang Eksotik

Warta Event – Natuna.Kabupaten Natuna dibalut dengan keindahan pulau – pulau kecil nan eksotik. Ada sekitar 154 pulau cantik dalam territorial Kabupaten Natuna. Dan, baru lima persen diantaranya yang siap dijadikan destinasi wisata. Salah satunya adalah Pulau Senua yang hanya berjarak 2 mil atau 4 km dari daratan Kota Kabupaten.

Siapa nyana, pulau yang hanya berjarak tempuh 15 menit dengan speed boat ini menyimpan mitos yang sangat melegenda di Kepulauan Natuna. Tidak hanya orang dewasa, anak yang masih di bangku Sekolah Dasar pun mafhum akan mitos tersebut.

Mitos itu pun sangat mengakar dan diyakini, bahwa muasal Pulau Senua ada dari dua tokoh protagonis dalam kisah tersebut. Adat Melayu, masih dianut sangat kuat oleh warga setempat. Itu sebabnya budaya bertutur seperti pantun hingga bercerita masih kuat terjaga.

Dibalik dua lembar kertas, Sebut saja Erfan, salah satu peserta lomba bercerita anak yang berasal dari Bunguran Timur, seberang Pulau Senua, terlihat begitu menikmati setiap paragraf dalam alur cerita yang ia bacakan ke para pengunjung yang memadati Festival Pulau Senua yang berlangsung pada (24/06/2016) lalu.

Adalah Baitusen dan Mai Lamah, suami dan istri merantau ke Pulau Bunguran untuk merubah hidupnya agar lebih baik lagi. Di Pulau Bunguran, mereka hidup bahagia. Para tetangga pun menyukai mereka. Mak Semah, seorang bidan kampung pun selalu bersedia menolong mereka jika salah satu di antara mereka ada yang sakit.

Suatu hari, Baitusen menemukan sarang teripang, binatang laut yang mahal harganya jika dikeringkan dan dijual. Baitusen dan Mai Lamah pun menjadi saudagar teripang yang kaya raya. Kehidupan yang mewah mengubah sifat Mai Lamah. la menjadi sombong dan kikir.

Baik Baitusen dan Mai Lamah pun enggan lagi bergaul dengan para tetangganya yang miskin. Suatu hari, Mak Semah datang untuk meminjam beras. Mai Lamah membentaknya dan mengungkit tentang utang-utang perempuan itu. Mak Semah sangat sedih mendengar ucapan Mai Lamah. Sejak itu, para tetangga menjauhi Mai Lamah.

Suatu ketika, tibalah saatnya Mai Lamah melahirkan. Mereka sudah memesan bidan dari pulau seberang, tetapi ia tak kunjung datang. Akhirnya, Baitusen mencoba meminta bantuan kepada Mak Semah dan tetangga lainnya. Namun, tak seorang pun mau menolong karena mereka pernah disakiti oleh Mai Lamah.

Alhasil, Baitusen pun membawa istrinya ke pulau seberang untuk menemui bidan. Mereka menggunakan perahu. Mai Lamah meminta suaminya untuk membawa semua peti perhiasan dalam perahu mereka. Baitusen pun menuruti kemauan istrinya.

Mereka membawa peti perhiasan, lalu menjalankan perahunya. Tak dinyana, semakin ke tengah, gelombang laut semakin besar. Air masuk ke dalam perahu. Semakin lama muatan perahu semakin berat. Perahu tenggelam bersama seluruh perhiasan yang mereka bawa.

Baitusen dan istrinya berenang ke tepian ditengah gelombang yang ganas untuk menyelamatkan diri. Tubuh Mai Lamah timbul dan tenggelam. Badannya berat, karena sedang mengandung ditambah pula dengan banyaknya perhiasan yang ia pakai. Akhirnya, mereka sampai ke Pulau Bunguran Timur.

Saat Mai Lamah yang sombong dan kikir menginjakkan kaki di pulau itu, tiba-tiba guntur menggelegar. Tampaknya, tanah Bunguran tidak mau menerima kedatangan perempuan itu. Tiba-tiba, tubuh Mai Lamah yang dalam keadaan mengandung berubah menjadi sebongkah batu besar.

Lama kelamaan, batu tersebut berubah menjadi sebuah pulau. Masyarakat sekitar menamai pulau tersebut dengan Pulau Senua. Menurut bahasa masyarakat setempat “senua” adalah berbadan dua atau mengandung.

Emas dan perak yang melilit tubuh Mai Lamah berubah menjadi burung walet. Pulau ini terletak di ujung Tanjung Senubing, Bunguran Timur. Sampai kini, Pulau Bunguran terkenal dengan sarang burung waletnya. “Demikian kisah legenda Pulau Senua,” tutup Erfan diiringi senyum ke para pengunjung.

Pulau Senua yang jika dilihat dari atas berbentuk seperti perut orang hamil ini memang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai destinasi unggulan daerah maupun nasional. Sebab pulau ini secara geografis tidak jauh berbeda dengan Gili Trawangan di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Pulau yang masih belum berpenghuni ini pun memiliki keindahan dasar laut. Tidak hanya batu karang dan biota lautnya yang indah. Beberapa benda arkeologi dasar laut dari abad 9 – 17 masehi pun masih ada.

“Di sebelah timur Pulau Senua ini ada peninggalan pesawat karam dari Negara Inggris di dasar lautnya. Kemudian, di sisi utara juga bagus untuk senorkeling,” ujar Erson Gempa Apriandi, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Natuna, usai membuka acara Festival Pulau Senua.

Erson menambahkan, kekayaan arkeologi bawah laut kepulauan Natuna sangat dimaklumi. Sebab, menurut kajian badan arkeologi, Kepulauan Natuna pernah menjadi Bandar Maritim Dunia. “Saat ini ada 12 titik kapal karam yang membawa Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) di perairan Natuna, enam diantaranya berada di Pulau Senua,” pungkas Erson.

Aksesbilitas untuk sampai ke Pulau Senua pun cukup mudah. Dari Bandara Ranai Natuna wisatawan harus menuju terlebih dahulu ke dermaga Teluk Baruk, kota Ranai Pulau Bunguran, dengan menggunakan rental mobil.

Jarak tempuh dari Bandara Ranai ke dermaga Teluk Baruk sekitar 15 menit. Kemudian, harga sewa rental mobil per harinya Rp500 ribu sudah termasuk sama sopir. Setelah itu dilanjut menggunakan perahu nelayan (pompong) ke Pulau Senua.

Jarak tempuh dari dermaga Teluk Baruk ke Pulau Senua hanya membutuhkan waktu sekitar 25 menit. Adapun harga sewa perahunya yakni Rp400 ribu untuk pulang pergi (PP) dengan daya tampung keamanan 20 orang penumpang.

Selama di pulau Indonesia paling terdepan yang terletak di laut China Selatan dan berbatasan langsung Negara Malaysia Timur ini dapat menikmati keindahan lain seperti penangkaran penyu hijau (Tukik). Sebab, di pulau ini penyu-penyu tersebut berkeliaran bebas di pinggir pantai.

Tak hanya itu, dari Pulau Senua ini wisatawan pun dapat melihat tempat sarang burung wallet yang langsung menghadap ke pinggir laut yang dikelilingi batu karang yang terjal, melihat keindahan gunung ranai, batu sindu dan pantai tanjung dari puncak bukitnya. [Fatkhurrohim/*]