WARTAEVENT.com – Jakarta. Pada hari Minggu 24 November 2024 yang lalu adalah genap 21 hari Presiden Prabowo Subianto dan rombongan menyelesaikan lawatan perdananya ke manca negara. Sebagaimana diketahui Prabowo telah bertolak dari Indonesia sejak 8 November silam. Rangkaian kunjungan Presiden RI ke-8 itu adalah ke Tiongkok, Amerika Serikat (AS), Peru, Brazil, Inggris, dan Persatuan Emirat Arab.
Menurut para pengamat Hubungan Internasional (HI), kunjungan Prabowo ke mitra pentingnya itu menandakan bahwa Indonesia tidak memihak salah satu kubu. Meski sering terjadi ketegangan antara AS dan China dalam beberapa hal seperti politik dan ekonomi. RI benar-benar menjaga jarak dengan semua, seraya mengambil manfaat maksimal dari interaksi yang terjadi.
Baca Juga : Pengalaman Para Diplomat Wajib Dipelajari Pelaku dan Pemerhati Polugri: Kesimpulan Prodi HI Unpad
Kesimpulan para pengamat HI tersebut tercermin dalam diskusi yang diselenggarakan International Politics Forum (IPF) pada Minggu (24/11/2024) siang yang diikuti oleh para peserta di Indonesia dan mancanegara.
Direktur Eksekutif IPF, Aprilian Cena, yang berada di Beijing menyatakan bahwa timing penyelenggaraan diskusi melalui Webinar tanggal 24 November kemarin sangat tepat. Dengan pembentukan Kabinet Merah Putih, semakin banyak masyarakat internasional yang ingin mengetahui peranan Indonesia di bidang politik luar negeri. Tidak saja visi dan misi yang dilihat namun juga hubungan, engagement aktif Indonesia dengan negara lain di dunia.
Ketegasan Sikap dalam Melaksanakan Politik LN yang Bebas Aktif
Salah satu pembicara pada diskusi IPF adalah Dubes Prof. Dr. Eddy Pratomo, SH, MA, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila.
Disampaikan oleh Prof Eddy bahwa Presiden Prabowo telah menunjukkan ketegasan sikap dalam politik luar negeri RI yang bebas aktif dan non-blok, serta menjalin persahabatan dengan semua negara tanpa ikut serta dalam aliansi militer apapun. ”Pernyataan itu disampaikan dengan gamblang, dengan tujuan agar terjalin hubungan persahabatan yang erat dengan negara sahabat di kancah internasional”, imbuh Prof Eddy yang pernah menjadi Dubes RI di Jerman (2005-2013) tersebut.
Baca Juga : Apresiasi Jerman Terhadap Kepemimpinan Indonesia di Kawasan Indo-Pasifik
Adapun nara sumber kedua, Dr. Teuku Rezasyah, MA, Dosen Hubungan Internasional Pasca Sarjana FISIP, Universitas Padjadjaran Bandung, menyatakan bahwa lawatan pertama Presiden Prabowo ini menunjukkan profil internasional Indonesia di bawah kepemimpinannya.
Guru Besar UNPAD ini menyarankan beberapa kesiapan yang perlu diketahui Indonesia dalam menggarap politik Luar Negeri. Termasuk dalam hal ini adalah kehati-hatian dalam menentukan opsi bergabung pada kelompok negara-negara BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa). Disampaikan juga perlunya pertimbangan untuk mereformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Baca Juga : Acara Bedah Buku dan Seminar Nasional ASEAN Berlangsung Sukses di Universitas Hazairin Bengkulu
Lebih lanjut Dr. Teuku Rezasyah menyatakan bahwa dalam enam bulan terakhir, Prabowo Subianto telah mengunjungi 20 negara. Teuku Rezasyah dari awal sudah sepandangan dengan para pengamat lainnya bahwa Prabowo akan aktif di kancah internasional jika sudah menjabat sebagai presiden.
”Prabowo adalah sosok pemimpin yang percaya diri … dan dia punya pengetahuan soal isu-isu internasional,” kata Dr. Teuku Rezasyah. Perlu sedari dini membangun hubungan dan kepercayaan dari para pejabat asing demi hubungan bilateral dan multilateral yang lebih baik ke depannya. Di dalam negeri, kunjungan Prabowo menunjukkan bahwa dia adalah komandan diplomasi dan pertahanan Indonesia,” kata dia. Di mata dunia, Prabowo ingin menunjukkan bahwa dia siap membantu dunia menghadapi isu-isu global.”, kata Dosen Pasca Sarjana UNPAD ini.
Pembicara ketiga, Bagas Hapsoro, Dubes RI untuk Swedia dan Latvia (2016-2020) menggaris bawahi perlunya kontinuitas penanganan masalah Ukraina. Disebutkan oleh Bagas bahwa meski resolusi tentang Ukraina diputuskan sewaktu di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi namun visi Indonesia yang diambil tetap harus diteruskan.
Baca Juga : Langkah Terpadu Menghadapi EUDR
Dasar dari Politik Luar Negeri (Polugri) kita terdapat pada Pembukaan UUD 1945. “Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Berkontribusi terhadap upaya perdamaian dunia dengan prinsip kemerdekaan, yaitu aktif menyelesaikan masalah internasional. Prinsip kemerdekaan: merdeka dalam membuat keputusan, tidak karena tekanan negara lain.
Jadi yang dinamakan “Politik Bebas-Aktif/Non-Blok”: Bebas: merdeka dalam menentukan sikap/membuat keputusan, tidak dalam tekanan. Aktif: ikut serta memelihara perdamaian dunia.
Baca Juga : ‘Tulisan Para Diplomat Wajib Dibaca Pemerhati Polugri’, Komentar Tantowi Yahya
Indonesia sangat konsisten, dalam masalah pendudukan AS di Iraq dan Libya, Indonesia juga mengutuk dan meminta supaya mengakhiri pendudukannya.
Dari lawatan Presiden Prabowo ini dapat disimpulkan bahwa:
- Indonesia mendukung perjuangan rakyat Palestina agar menjadi merdeka dan berdaulat.
- Indonesia berani menghadapi tantangan yang ada baik dari luar maupun dari dalam.
- Berani mawas diri dan koreksi diri sendiri.
- Pemimpin harus bekerja untuk rakyat.
- Politik luar negeri yang bebas aktif, non blom dan bersahabat dengan semua negara.
- Indonesia ingin bersahabat dengan semua negara dan menjadi tetangga yang baik.
- Punya seribu kawan terlalu sedikit dan punya satu lawan terlalu banyak.
- Prinsip anti penjajahan, penindasan, dan diskriminasi.
- Konsisten bela rakyat yang tertindas, oleh karena itu mendukung perjuangan rakyat Palestina
- Memuji para pemimpin terdahulu dan bangun gotong royong untuk NKRI
- Siap melanjutkan estafet kepemimpinan untuk menjadi bangsa yang kuat, berdaulat, adil, dan makmur.
Diskusi berkesimpulan bahwa ketegangan kawasan dan global akibat rivalitas AS-China itu perlu dinavigasi (perlu diatur) demi memastikan keamanan, kedaulatan, dan tercapainya tujuan nasional Indonesia. Dalam konteks ini, bisa dipahami pilihan lawatan Prabowo ke China dan AS, Peru, Brazil, Inggris, dan beberapa negara Timur Tengah termasuk Persatuan Emirat Arat.
Dalam berbagai kesempatan Presiden Prabowo menyatakan keinginannya bekerja sama dan menghormati semua kekuatan, dengan tetap mempertahankan kedaulatan. ”Saya percaya kolaborasi, kerja sama, selalu lebih baik daripada konfrontasi atau konflik. Tentunya ini harus diupayakan, tidak akan datang sendiri”.
Baca Juga : El Nino dan Peraturan UE Tentang Deforestasi : Siapkah Kita?
Dalam kunjungan Presiden Prabowo ke China, Indonesia dan tuan rumah menandatangani dokumen kerja sama dalam berbagai bidang, seperti pengembangan kerja sama maritim, perikanan, sumber daya mineral, sumber daya air, keselamatan maritim, penilaian kesesuaian, ekonomi hijau, perumahan, dan impor kelapa Indonesia. Lawatan itu, menurut Kadin Indonesia, menghasilkan kesepakatan kerja sama ekonomi senilai 10 miliar dollar AS atau Rp156 triliun.
Adapun di AS, Prabowo dan Presiden Joe Biden berkomitmen memperdalam hubungan dengan memperluas kerjasa bidang-bidang baru, seperti iklim, energi, HAM dan tenaga kerja, kebijakan luar negeri, dan kebijakan keamanan nasional. Kontak telpon Prabowo dan Presiden terpilih AS Trump menjadi modal awal dalam hubungan Jakarta-Washington, DC empat tahun ke depan.
Baca Juga : Ini Peran Diplomat dalam Menjalankan Polugri
Diskusi sepakat bahwa realisme dalam keamanan nasional, nasionalisme pragmatis guna mendukung pembangunan ekonomi, serta idealisme dalam mempromosikan perdamaian dan stabilitas kawasan dan internasional. (*)
- Penulis : Budiman Sasono
- Editor : Fatkhurrohim
- Photo : Istimewa