News

Memahami Toleransi Perbedaan Kultur di Ruang Digital

WARTAEVENT.com – Tulungagung. Media sosial telah menjadi sumber alternatif, hal ini tidak lepas dari adanya transformasi digital yang membuat masyarakat bergeser pada budaya yang serba digital. Karena budaya digital yang cenderung bebas pun memiliki kelemahan. Media sosial sebagai ruang digital telah menjadi tempat bercampurnya hoaks dengan informasi lainnya, sehingga sulit untuk membedakan informasi yang hadir adalah fakta.

Chairri Ibrahim, Ceo & Founder Integrated Marketing Communication Consultant, mengatakan, budaya digital yang transparan membuat privasi penggunanya hilang, sehingga rentan terhadap segala macam manipulasi. Juga, digitalisasi cenderung membuat individu menghabiskan pikiran, waktu, dan energi untuk urusan diri dan dunia.

“Ruang maya punya daya sebar yang luas, menghadirkan beragam pilihan, namun melahirkan nir-emosional karena interaksi dan komunikasi yang satu arah. Sehingga, kita memerlukan refleksi agama,” kata Chairri dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 untuk wilayah Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Senin (13/9/2021).

Menurutnya, untuk konteks beragama, saat ini beragama menjadi semacam formalitas, dan ritual keagamaan menjadi artifisial. Menghadapi keragaman beragama di ruang digital dibutuhkan sikap toleransi, yakni upaya menghargai dan menghormati perbedaan, memberikan kasih, berbagi kebaikan dan memuliakan orang lain tanpa melihat perbedaan suku, ras, agama, dan antar-golongan.

“Dengan toleransi dapat membangun perdamaian, menjaga persatuan, kesetaraan dan kemajemukan. Sebab, perbedaan sejatinya adalah keniscayaan dan fitrah manusia. Sehingga menumbuhkan kesadaran toleransi menjadi perisai menahan gempuran dan propaganda penyebaran pesan intoleransi dan fanatisme beragama,” lanjutnya.

Ia manambahkan, solusi dalam bertoleransi, dengan merawat dan menjaga persaudaraan, mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila, baik di dalam kehidupan nyata maupun di ruang virtual, serta mengutamakan kepentingan bersama.

Lanjutnya, kebebasan mengekspresikan diri dapat menimbulkan persoalan yang tidak ringan. Salah satunya adalah munculnya sikap intoleransi karena perbedaan pendapat. Oleh karenanya etika menjadi kunci dalam menjaga toleransi berinteraksi, berkomunikasi, dan beragama.

“Prinsip beretika adalah memiliki kesadaran. Interaksi di dunia digital lebih ke arah spontan, sehingga dalam berperilaku di ruang digital harus didasari dengan bermedia sosial yang baik, memiliki tujuan dan tidak asal-asalan. Memiliki prinsip kejujuran dan selalu menyadari semua yang dilakukan harus dipertanggungjawabkan, ada konsekuensinya. Jejak digital tidak akan pernah hilang, begitu juga dengan jejak perilaku kita. Oleh sebab itu, semua yang terlibat di dunia digital dapat memanfaatkan ruang tanpa batas untuk memberikan kebermanfaatan dan kebaikan,” ungkapnya.

Ia menerangkan, bermedia digital, perlu disertai etiket atau tata krama yang berlaku. Sebab, pengguna media digital akan berinteraksi dan berkomunikasi dengan berbagai perbedaan kultur, dan setiap pengguna saling berinteraksi dengan manusia nyata. Perlu diketahui pula, forum digital juga memiliki aturan dan tata tertib yang menyangkut batasan dan cara yang terbaik dalam memanfaatkan fasilitas internet.

“Itu sebabnya, kita harus berkontribusi untuk mewujudkan toleransi, termasuk dalam hal beragama. Dengan menerapkan cara berpikir kritis dalam menerima informasi, menyeleksi dan menyaring informasi serta memverifikasi kebenaran informasi,” ujarnya.

Partisipasi untuk mewujudkan toleransi juga dapat dilakukan dengan ikut memproduksi dan mendistribusikan konten positif. Langkah partisipasi lainnya adalah dengan membangun jejaring dan kolaborasi positif dalam menghadapi berbagai serangan informasi dan konten intoleran.

”Bekal berselancar di dunia digital dengan mencari referensi informasi keagamaan yang otentik dan otoritatif, menyadari setiap perbedaan adalah sunnatullah, menanamkan pada diri bahwa masing-masing kita adalah penjaga kebhinnekaan dan setiap orang memiliki peluang kebenaran,” terangnya.

Ia juga menjelaskan, tips aman bermedia digital agar terhindar dari sikap intoleransi dan konten negatif adalah berselancar di situs yang aman. Khususnya jika menyangkut informasi keagamaan, pilihlah situs yang jelas afiliasi atau pengasuhnya. Konten yang disediakan oleh situs tidak memaksakan kehendak dan memiliki perspektif menghargai keragaman.

Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Tulunggaung, Jawa Timur, Senin (13/9/2021) juga menghadirkan pembicara Andik Adi Suryanto (Relawan TIK Kabupaten Tuban & Praktisi Pendidikan), Muhammad Miftahun Nadzir (Dosen Entrepreneur Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), Stefany Anggriani (Profesional Make Up Artist & Makeup Influencer), dan Lady Kjaernett sebagai Key Opinion Leader.

Gerakan Nasional untuk Indonesia #MakinCakapDigital ini berlandaskan 4 pilar utama, Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills). Dan melibatkan 110 lembaga juga komunitas sebagai agen pendidik Literasi Digital.

Kegiatan yang diadakan di 34 Provinsi Indonesia dan 514 Kabupaten ini dilaksanakan secara virtual berbasis webinar. Dengan menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024. Dengan maksud dan tujuan utamanya membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital. (*)

Leave a Reply