Site icon WARTAEVENT.COM

Sagu Lempeng: Kuliner, Tradisi dan Pundi Rezeki

WARTAEVENT.com – Jailolo. Di pagi yang masih diselimuti kabut, Kampung Akediri di Kecamatan Jailolo, Halmahera Barat, perlahan-lahan mulai hidup. Tak lama setelah azan Subuh berkumandang, aroma khas bara sabut kelapa dan kepulan asap dari tungku-tungku tanah liat mulai mengisi udara.

Kepulan asap tersebut sebagai penanda dimulainya denyut nadi ekonomi rakyat yang menyatu dalam ritme harian masyarakat memproduksi Sagu Lempeng.

Baca Juga : Luthfi dan Bara Abadi dari Galala: Penjaga Tradisi Ikan Asap Jailolo

Di salah satu sudut kampung itu, seorang ibu rumah tangga bernama Nini (35 tahun) dan Suhaemi Rahim, tampak sibuk menyulut api dan menyiapkan forno—tungku tradisional dari tanah liat.

Seperti puluhan keluarga lainnya di Akediri, Nini dan Suhaemi menjalankan usaha Sagu Lempeng, kuliner lokal yang bukan hanya menjadi identitas rasa Halmahera Barat, tetapi juga menjadi tulang punggung ekonomi warga.

Bukan hal baru bagi warga Akediri. Usaha ini telah berlangsung secara turun temurun, diwariskan dari generasi ke generasi. Sagu Lempeng bukan sekadar panganan, tetapi telah menjelma menjadi instrumen ekonomi yang memandirikan rumah tangga dan membangun solidaritas sosial.

Baca Juga : Orom Sasadu Kontemporer: Tradisi Suku Sahu dalam Tafsir Zaman di Festival Teluk Jailolo

“Kalau Subuh sudah lewat, suara kayu terbakar dan forno memerah itu tandanya ekonomi kami mulai bergerak,” tutur Nini sambil tersenyum. Tangannya cekatan memeriksa forno yang sudah ia panaskan sejak pukul lima pagi.

Nini tak sendiri. Puluhan keluarga lain menjalani aktivitas serupa. Para pria mengangkut Kasbi—sebutan lokal untuk singkong—dari kebun atau petani, sementara para perempuan menyiapkan forno dan bahan baku. Di sinilah ekonomi kerakyatan hidup dan bertumbuh, berpijak pada prinsip gotong royong dan kemandirian.

Suhaemi menambahkan, proses produksi Sagu Lempeng tak bisa instan. Setelah Kasbi dikupas dan diparut, bahan tersebut harus dikeringkan menggunakan alat dongkrak tradisional. Kemudian digiling, diayak, hingga menjadi tepung halus siap cetak.

Baca Juga : Explore Jailolo: Baru Pulang dari Gunung Gamkonora

“Untuk memanaskan forno butuh waktu tiga jam awal. Setelah itu cukup sepuluh menit saja untuk membuat cetakan berikutnya,” jelasnya.

Satu forno menghasilkan delapan lempeng. Dalam satu hari, Nini mengoperasikan 10 forno dengan sistem rotasi—enam forno dipanaskan, empat mencetak. Hasilnya? Dalam sehari, Nini bisa mencetak lebih dari 200 lempeng.

Sagu Lempeng hadir dalam dua varian rasa; Sagu Lempeng Original (Tawar), dengan bahan baku utamanya Kasbi, Rasanya tawar dengan sentuhan gurih ringan. Cocok disandingkan dengan ikan tumis, ikan goreng, hingga ikan bakar

Baca Juga : Sigofi Ngolo: Ritual Sakral dari Teluk Jailolo yang Menyatukan Manusia dan Alam

Varian selanjutnya adalah Sagu Lempeng Manis Bahan utamanya adalah kelapa, gula merah atau putih. Rasanya manis dengan aroma kelapa, Cocok sebagai kudapan atau oleh-oleh wisata.

“Pemilihan jenis gula memengaruhi warna dan tekstur hasil akhir. Gula merah menghasilkan warna lebih gelap dan aroma yang khas, sedangkan gula pasir menjadikan lempeng lebih cerah, terangg Suhaemi.

Model usaha Sagu Lempeng ini sederhana, namun sangat efektif secara ekonomi. Dari satu karung khasbi seharga Rp75.000, Nini bisa menghasilkan sekitar 200 lempeng sagu.

Harga jualnya pun cukup terjangkau: Rp10.000 untuk 4 lempeng, atau Rp20.000 per forno. Total pendapatan harian bisa mencapai Rp500.000, dengan laba bersih sekitar Rp425.000 per hari.

Baca Juga : Susur Sungai Pancora Beach: Simfoni Hijau di Ujung Halmahera Barat

Pembeli datang dari berbagai segmen: pengepul, pedagang pasar, hingga penjual keliling. Menariknya, seluruh hasil produksi selalu habis terjual setiap hari. Tak ada yang tersisa.

Bagi Nini dan warga Akediri, Sagu Lempeng bukan hanya sumber penghasilan. Ia adalah identitas budaya, simbol ketahanan pangan, dan ekspresi kemandirian ekonomi perempuan di desa.

“Kalau ada tamu datang, kami selalu tawarkan Sagu Lempeng dengan ikan bakar dan sambal. Itu ciri khas kami di Halmahera Barat,” ujar Nini bangga.

Baca Juga : Festival Morotai Angkat Tema Land of Stories Sebagai Daya Tarik Wisata Maluku Utara

Sagu Lempeng bukan hanya produk pangan. Ia adalah simbol bahwa dengan alat sederhana, bahan lokal, dan kerja kolektif, sebuah kampung bisa berdiri di atas kaki sendiri—menghidupi, menginspirasi, dan memperkuat ekonomi kerakyatan Indonesia. (*)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Wartamedia Network WhatsApp Channel: https://whatsapp.com/channel/0029Vb6hTttLSmbSBkhohb1J Pastikan kalian  sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Exit mobile version